Kamis, 10 Januari 2008

SISI LAEN SEJARAH LOMBOK

RIWAYAT BALOQ JAWE.
Cuplikan perang praya.
Seorang Arab yang mengaku dirinya turunan Syarif bertugas keluar masuk desa membawa berita susah senangnya penghidupan dibawah pemerintahan Anak Agung. Praya akan berontak terhadap kekuasaan Anak Agung. Itu yang disepakati Mamiq Srinate, Guru Semail dan Tuan Serip.
Yang akan menjadi kepala perang disepakati Tuan Serip. Tinggal menunggu hari baik (dewase) untuk memulai. Mamiq serinata membujuk orang2 kampung untuk ikut dalam penyerangan. Pada Bulan Muharam hari jumat tanggal …………. (hal 92), meminta kesiapan para kerabat, handai tolan dan sahabat untuk memulai perang.
Pada malamnya Haji Yasin dan Haji Dolah datang kepada Guru Semail. Mereka diberitahu dan dimintai pendapat mengenai rencana penyerangan keesokan harinya. Keduanya mempertanyakan jumlah desa-desa yang akan ikut terlibat. Guru semail menjawab berdasarkan informasi yang disampaikan Tuan Syarif bahwa soroh timuq (desa-desa disebelah timur Praya seperti Jerowaru – Penendem), Sakra, masbagik dan Rarang) telah menyatakan kesediaannya untuk terlibat.
Guru Semail menambahkan bahwa Jerowaru dan Pijot akan ikut menyerang puri Raja Bali di Cakranegara. Begitu Juga dengan Puyumg, Kopang, Batukliang, Penujak, Jenggala, Jelantik, Sukarara dan Kediri. Semuanya telah sepakat untuk ikut serta. Mereka akan menggempur Cakra dengan menembus pasukan Raja Bali di sebelah timur Juring. Guru Semail juga menyampaikan saran Tuan Syarif agar penyrangan disegerakan.
Nampaknya Haji Yasin masih belum yakin dengan informasi Guru Semail. Ia mempertanyakan apakah sudah ada ketrangan tertulis dari masing-masing desa tersebut karena banyak desa yang belum mengenal Sayid Abdullah. Guru Semail menegaskan bahwa sampai saat itu belum ada keterangant dimaksud, dan informasi dari Tuan Serip sudah dianggap mencukupi.
Haji Yasin kemudian menilai bahwa informasi itu saja belum cukup. Ia berpendapat bahwa penyerangan akan berakibat pada kesulitan besar dikemudian hari yang ditanggapi singkat oleh Guru Semail. Guru Semail menegaskan bahwa hukumnya sudah wajib. Andaikan tak ada yang mendukung, sendirianpun beliau tidak akan mengurungkan niatnya untuk perang sabil berdasarkan fatwa Tuan Serip. Tuan Serip adalah anak cucu Rasulullah, karena itu Haram bagi beliau untuk mengurungkan niatnya.
Mendapat tanggapan yang demikian itu Haji Yasin dan Haji Dolah melanjutkan perjalanannya ke Penujak. Sebelum berangkat sekali lagi Haji Yasin meminta ketegasan dari Guru Semail. Guru Semail memperingatkan Haji Yasin agar menghentikan komentarnya karena disekitar ada mata-mata orang Bali yang menyamar menjadi utusan Anak Agung untuk minta tenaga pengayah.
Melalui Haji Yasin, berita mengenai rencana penyerangan Guru Semail sampai kepada Mamiq Sapian, seorang pemekel Raja Bali di Praya. Selain itu berita juga telah menyebar ke seluruh pelosok Praya yang menyebabkan berbondong-bondongnya para pemuka Praya mendatangi Mamiq Sapian. Mereka meminta kejelasan sikap Mamiq Sapian terhadap rencana penyerangan tersebut. Dalam kesempatan tersebut Mamiq Sapian menyampaikan pandangannya. Menurutnya, apabila tidak terlibat, sejarah akan mengenangnya sepanjang masa sebagai pengecut. Mamiq Sapian menyatakan ketegasan sikapnya untuk bersama-sama dengan Guru Semail. Beliau kemudian menanyakan sikap yang hadir. Semua yang hadir menyatakan diri akan ikut serta dengan pertimbangan kalaupun mereka berdiam diri, mereka tidak akan luput dari dikirim ke tempat yang sangat jauh ke pulau Bali sebagai pasukan raja Bali. Untuk itu mereka menyatakan lebih baik bersama-sama hancur bersama pimpinan mereka. Mendengar jawaban yang seperti itu Mamiq Sapian menyatakan kepuasannya dan meminta mereka pulang dan mempersiapkan diri. Sebab, besok perang akan dimulai.
Keesokan harinya, sebelum hari petang, pasukan Praya mulai bergerak menuju Cakra. Sementara itu, berita mengenai rencana penyerangan oleh Praya telah sampai ke Anak Agung melalui salah seorang premamiq yang tidak ikut berperang. Konon ia langsung menghadap Anak Agung dan menyampaikan berita tersebut. Pasukan Bali bersama Pemating Selam segera dipersiapkan. Dibawah pimpinan Anak Agung Made Jelantik, pasukan raja berangkat ke Praya melalui Bengkel dan Kediri.
Ketika pasukan Praya sampai di Puyung, mereka tidak diijinkan memasuki desa. Puyung ingkar janji untuk ikut berperang. Pasukan akhirnya terus bergerak ke barat melalui luar desa. Di Pakukeling kedua pasukan bertemu dan pertempuran sengit tak bisa dihindarkan lagi. Pertembpuran berkecamuk sampai Kediri Timuq Jebak. Pasukan praya dapat dipukul mundur dan Raja Anak Agung bertahan di Puyung.
Sementara itu Tuan Serip berkeliling ke desa-desa, terutama ke desa-desa sorohan timuk, seperti Jerowaru, dan Sakra untuk menyampaikan kabar Congah Praya.

Keadaan Jerowaru Menjelang Perang Praya (1891M)

Menurut penuturan orang-orang tua, Wilayah Jerowaru saat itu meliputi hampir semua wilayah kecamatan Keruak dan Jerowaru saat ini, ditambah wilayah kecamatan Sakra bagian selatan. Disebelah utara sampai perbatasan antara Montong Galeng dan Montong Tengari, dan disebelah barat sampai pantai Awang.
Seperti halnya desa-desa lain di pulau Lombok, Jerowaru dipimpin oleh seorang kepala desa yang secara langsung bertanggungjawab kepada raja Anak Agung di Cakranegara. Semenjak Kedatuan Pena masih eksis, kepemimpinan Jerowaru dipegang oleh keluarga Guru Alim secara turun temurun. Setelah Pena runtuh dan kekuasaan raja Bali dipegang oleh Anak Agung Made, kepemimpinan Jerowaru berpindah ke Daeng Masje dari keturunan Sumbawa. Perpindahan ini konon disebabkan karena keengganan mereka untuk maturang kepada Anak Agung yang semakin tidak mempedulikan nasib rakyat Sasak. Selanjutnya segala urusan dengan raja Bali diserahkan kepada Daeng Masje yang saat itu menjadi petugas yang mengantar surat – surat penting ke Cakranegara. Anak Agung kemudian mengakuinya sebagai kepala desa Jerowaru. Daeng Masje kemudian digantikan oleh anaknya Lalu Sinudin yang dikenal dengan sebutan Jero Ocet.
Pada masa kepemimpinan Jero Ocet inilah, hubungan Anak Agung dan Jerowaru menjadi sangat dekat. Menurut Babat Mengwi Praya, ketika terjadi pemberontakan Mengwi terhadap karangasem di pulau Bali, para punggawa Jerowaru dan sakra sebanyak 300 orang, Tanjungluar, Pijot, dan Peleba sebanyak 200 orang hendak dikirim ke Pulau Bali untuk membantu pasukan karangasem menumpas pemberontakan mengwi. Mereka dibawah pimpinan pembekel Bali Ide Bagus Jelantik. (Babat Mengwi Praya hal 80) Karena jumlah perahu jemputan dari Karangasem hanya satu, maka hanya tiga desa yang jadi dikirim yaitu Jerowaru, Tanjungluar dibawah pimpinan Loq Tambora, dan Bali Mendana. Jumlah mereka tercatat sebanyak 100 orang.
Di Mendana sendiri diceritakan terdapat perkampungan Bali. Disana berdiam seorang pembekel Bali bernama Ida Bagus Jelantik.

Setelah meletus perang Praya, Jerowaru terbelah dua dan terjadi dualisme kepemimpinan. Sebagian wilayah Jerowaru yang masih setia kepada Anak Agung tetap mengakui Jero Ocet sebagai kepala Desa. Sedangkan yang mendukung Praya menganggap Guru Alim sebagai Pemimpin mereka. Dualisme kepemimpinan ini seringkali menimbulkan konflik kebijakan antar Jero Ocet dan Guru Alim.
Ketika Jero ocet memerintahkan hukuman mati terhadap beberapa penduduk Jerowaru yang dituduh selaq, Guru Alim menentang dan membatalkan hukuman tersebut, bahkan menjamin bahwa para terhukum sebenarnya tidak bersalah, tapi hanya sekedar alasan untuk menguasai harta benda mereka, karena rata-rata para terhukum memiliki sawah yang luas. Sikap Guru Alim semacam itu jelas membatasi kewenangan kepala desa dan dalam banyak hal menjadi penghambat pelaksanaan kebijakan.
Karena kepala Desa Jerowaru dan penduduk desa masih banyak yang setia kepada Raja Bali. Untuk kelancaran persiapan perang, Guru Alim kemudian Pindah dan menetap di sebuah perkampungan sebelah utara Jerowaru yang kemudian dikenal dengan Penendem.
Dalam perkembangan selanjutnya, Penendem menjadi pusat pertahanan Jerowaru yang sekaligus sebagai padepokan yang menjadi titik pemberangkatan pasukan ke Praya. Menurut cerita-cerita orang tua, Pasukan dari desa-desa soroh timuq lainya ke utara meliputi Sakra Barat Mesjid, Kalitemu, sampai Kilang Montok Betok yang menuju Praya diberangkatkan dari Penendem oleh Guru Alim. Konon efek magis pemberangkatan tersebut baru terasa sekitar satu kilometer sebelah barat penendem, dan dari sana para pasukan mulai ngumbang. Tempat tersebut sampai sekarang disebut Pengombang.
Dalam perang Praya tersebut tercatat tokoh-tokoh Jerowaru seperti Tuan Suliwang dari Wakan Tinggi, Bp Kebejin dari Sepapan, dan Amaq Gancang dari Pengampong. Mereka dikenang sebagai perwira tangguh yang menyertai Guru Alim. Tuan Suliwang dikenal dalam keahliannya membuat pedang dan merakit senapan lela. Dalam hal peperangan, Guru alim tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi juga difungsikan sebagai tokoh spiritual yang memberangkatkan semua pasukan dan membekali mereka dengan berbagai alat pertahanan diri seperti sabuk jimat Sapudarat, minyak Toaq Tembeloq Ampan Lolat, dan bubus perang Bale Siu. Konon bubus perang tersebut diracik husus untuk menangkal senjata lontar seperti peluru bedil, ketapel dan tulup. Diriwayatkan bahwa bubus perang tersebut juga dibawa ke Praya. Ketika pasukan akan berangkat dari Praya, bubus tersebut direndam di telaga mesjid dan orang-orang yang akan berangkat perang diminta mandi terlabih dahulu untuk membentengi diri.
Diriwayatkan bahwa di medan perang Guru Alim tidak menggunakan pedang, tombak atau bedil. Beliau hanya menggunakan lempengan besi tumpul sepanjang satu meter mirip pedang. Ketika akan berangkat ke Praya lempengan tersebut diikatkan pada tapak tangan dengan tali benang untuk mencegah lepasnya dari tangan ketika mengamuk. Dan untuk membukanya setelah pulang, tangan harus direndam dengan air hangat terlebih dahulu untuk membersihkan darah musuh yang telah membeku. Baru tali pengikat pedang bisa dibuka. Sebagai kendaraan beliau menggunakan seekor kuda yang dijuluki Barong Tengkok.
Sebagai simbol kelanjutan dari perang Pena sebelumnya, Guru alim mengambil batu yang biasa dipergunakan sebagai penggiling bubus perang datu Pena dan menanamnya di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai tempat pinendeman (pemendaman) batu, yang konon dari istilah tersebut diperkirakan kata Penendem muncul. Sampai sekarang batu tersebut masih dipergunakan untuk keperluan keperluan sejenis.
Kampung-kampung yang tercatat terlibat dalam perang Praya dibawah pimpinan Guru Alim di wilayah Jerowaru meliputi Sepapan dibawah pimpinan Bapak Kebejin, Wakan dibawah pimpinan Tuan Suliwang, Pengampong dibawah pimpinan Amaq Gancang. Sedangkan para keluarga dan sahabat dari kampung-kampung lain yang mayoritas penduduknya masih setia kepada Anak Agung seperti Senyiur, Mendana, Jerowaru, Paek, dan sebagainya ikut bergabung secara diam-diam dan sendiri sendiri.
Menurut penuturan orang tua, Selain Guru Alim, peranan Balok Syarifah istrinya tak kalah penting. Baloq Syarifah memimpin para wanita mempersiapkan perbekalan perang berupa konsumsi. Selain itu bila Guru Alim sedang berada di garis depan, beliaulah yang menggantikannya memberangkatkan pasukan. Sekali waktu beliau juga diceritakan ikut pasukan perang ke Praya.
Selama Perang Praya berlangsung, tercatat hanya satu orang korban meninggal dari pasukan Jerowaru. Konon ketika akan diberangkatkan, semua anggota pasukan ditilik terlebih dahulu dengan ilmu tilik perang. Setelah melakukan upacara tertentu, konon Guru Alim dapat mendeteksi siapa saja yang bakal mendapat musibah. Karena itu mereka tidak diijinkan untuk ikut berangkat perang. Salah seorang pemuda yang yang terdeteksi akan mendapat musibah secara diam-diam telah ikut berangkat ke Praya. Pemuda tersebut akhirnya menjadi korban perang satu-satunya dari pihak Jerowaru. Jenazahnya dikuburkan di dekat rumah Guru Alim.
Pada saat Pasukan Praya terdesak dan sebagian Praya dapat dikuasai, Pasukan Bali bersama pemating bergerak ketimur dan menjarah desa-desa yang dilaluinya. Para penduduk desa terdekat seperti Semoyang, dan Ganti mengugsi kedaerah2 yang lebih aman, terututama ke wilayah Penendem. Banyak diantara mereka yang mati karena kelaparan dan penyakit dan dikuburkan disana. Sampai saat ini di Pekuburan Penendem dan disekitarnya banyak ditemukan kuburan orang-orang Ganti, Semoyang dan Marong. Bahkan di penendem terdapat sebuah pekuburan pengungsi perang yang sampai saat ini disebut Kubur Semoyang.
Suatu saat Pasukan Bali bersama Pemating berhasil menembus sampai di eat Longkang, sebelah barat Penendem. Saat itu di rumah Guru Alim sedang berlangsung pesta pernikahan adiknya. Pesta dihadiri oleh keluarga dan sahabat dari berbagai penjuru desa sampai ke Lombok Barat. Laporan tentang kehadiran musuh tersebut disampaikan oleh para penyanggre yang berjaga-jaga di Bagiq Polak. Para penyanggre ini memantau kehadiran musuh dari atas pohon asam. Konon pernah ada seorang penyanggre yang terjatuh dari pohon sampai polak (patah tulang) sehingga tempat tersebut kemudian disebut Bagiq Polak.
Pesta perkawinan berubah menjadi pesta perang. Guru Alim bersama seluruh tamu undangan menahan laju musuh di sebelah timur eat. Pertempuran sengit tak bisa dielakkan. Pasukan Bali terdesak dan menyingkir masuk padang ilalang di sebelah utara Longkang. Mereka berupaya agar bisa tembus ke timur untuk mencapai Mendana. Guru Alim memerintahkan membakar padang ilalang tersebut. Sebagian pasukan Bali dan Pemating terperangkap di tengah padang dan mati terpanggang. Sebagian lagi mundur dan melarikan diri.
Perang Praya telah menyulut peperangan diseluruh desa di pulau Lombok. Selain yang bergabung dengan pasukan praya menghadapi pasukan Bali dan Pematingnya, di masing - masing desa berkecamuk peperangan yang menggempur para perbekel Bali bersama keluarga dan pengikutnya. Pasukan dibawah pimpinan Guru Alim menyerbu mendana. Ida Bagus Jelantik dan keluarganya berhasil menyelamatkan diri ke Jerowaru, dan atas bantuan kepala desa jerowaru selanjutnya mengungsi ke Cakranegara melalui kawasan hutan sekaroh.

Kesalahpahaman dan Insiden Penyabukan.

Beberapa hari setelah meletusnya perang Anak Agung mendapatkan tambahan pasukan dari Mataram. Posisi Praya mulai terdesak. Tuan Serip bersama beberapa keluarga Praya berkeliling ke desa-desa Soroh Timuq untuk mengkonsolidasikan pasukan dari desa-esa yang telah sepakat mendukung Praya. Diriwayatkan bahwa pada suatu malam, Guru Alim kedatangan dua orang tamu dari keluarga Praya dalam rangka membicarakan situasi dan strategi perang. Keesokan harinya pagi-pagi benar keduanya melanjutkan perjalanan ke Jerowaru. Disuatu tempat di pesawahan penyabukan mereka bertemu dengan beberapa penyanggre yang bertugas memintai keterangan orang-orang asing yang memasuki wilayah Jerowaru. Sebagai upaya pengamanan Pada waktu itu telah disepakati awig-awig yang menentukan bahwa setiap orang asing yang memasuki Jerowaru harus dilucuti senjatanya. Ketika kedua orang tamu dari Praya tersebut akan dilucuti senjatanya, mereka menolak karena itu senjata pusaka. Senjata itu berupa sebelah keris pusaka ingkel paksi, ganje iras, luk dungkul, pamor sure. Selain itu mereka juga merasa tidak menjadi musuh Jerowaru. Tetapi karena keduanya tidak dapat menujukkan bukti tertulis dari Guru Alim atau pengiring yang menjamin keselamatan mereka, para penyanggre bersikeras melucutinya. Kesalahpahaman tersebut berakhir dengan pertarungan.
Dalam pertarungan tersebut beberapa penyanggre terbunuh. Segera tersiar kabar bahwa musuh telah sampai di penyabukan dan telah berhasil membunuh para penyanggre. Dengan tulup pusaka dari pengampong, Amaq Jap pemimpin Lepok berhasil mebunuh kedua tamu yang mengamuk tersebut.
Berita tentang peristiwa tersebut membuat Guru Alim menjadi sangat prihatin. Beberapa utusan segera dikirim ke Praya untuk menyampaikan berita duka. Karena situasi perang yang tak menentu para utusan tidak berkesempatan menjelaskan rincian kejadian tersebut. Dari sebagian kalangan keluarga Praya terdengar isu seolah-olah Guru Alimlah yang memerintahkan pembunuhan tersebut. (Ket. Alm. TGH. L. Faisal Praya sebagai ahli waris, seperti yang diceritakan Am. Maroan dari Penendem saat klarifikasi permasalahan dengan keluarga Praya pada tahun 2003 di Praya). Kedua tamu tersebut kemudian dimakamkan di pekuburan Kuang.

Campur Tangan Belanda dan Keruntuhan Cakranegara.

Perang yang berkepanjangan dan merata di seluruh pulau lombok telah menjadikan penderitaan dimana-mana. Kelaparan dan penyakit telah menjadi pemandangan dan bagian dari kehidupan sehari-hari. Sementara itu tidak dapat diperkirakan kapan perang akan berakhir. Pengungsian terjadi dimana mana. Aturan hukum raja Bali sudah tidak bisa berlaku lagi. Hukum rimba berlaku dimana-mana. Setiap orang memjadikan dirinya sebagai pemimpin.

Kenyataan ini mendorong para pemimpin sasak untuk menyurati dan meminta campur tangan Belanda dalam penyelesaian konflik sasak dan pemerintah bali. Inisiatif berasal dari mamiq Mustiaji dari kopang yang didukung oleh mayoritas pemimpin sasak. Guru Semain, Mamiq Ocet Talip, Guru Alim, dan Said Abdullah menyatakan keberatannya karena mereka memandang dari sudut agama. Tapi mereka kalah suara.

Campur tangan militer belanda yang seolah-olah berpihak pada perjuangan Sasak mendapat simpati dimana-mana. Bersama pejuang sasak, belanda akhinya dapat menaklukkan Anak Agung dan pasukannya. Anak agumg menyerah pd tahun 1894.

Belanda medaratkan pasukannya dan mulai melakukan pembersihan di suatu sisi dan disisi lainya menanamkan simpati. Desa-desa Sasak yang berpengaruh pada saat itu diantaranya adalah Praya, Kopang, Masbagik, Rarang, Mantang, Pringgabaya, Sakra dan Jerowaru. Oleh pemerintah belanda Sakralah yang dianggap paling potensial ditonjolkan menjadi pemimpin sasak. Untuk alasan itu Sakra memperoleh keistimewaan yang tidak diperoleh desa-desa lainnya. Sebagai legitimasi atas kepemimpinan sasak tersebut, belanda menyusun silsilah Sakra. Silsilah tersebut ditonjolkan sebagai legitimasi Sakra sebagai penerus Pejanggik. Dengan demikian kepemimpinan Sakra dapat diterima oleh mayoritas rakyat Sasak dan dengan sendirinya Belanda tidak akan mendapatkan rintangan yang berarti dalam penguasaan Sasak (Diskusi dengan L. Faisal Kediri, April 2007)
Sikap politik Said Alkadri bersama Guru Alim sejak semula telah cenderung anti Belanda. Setelah Anak Agung runtuh, Guru Alim bersama Said Alkadri, Guru Alkalimin dari Paek, dan Mamiq Ormat dari Jerowaru membuat padepokan di sekitar Makam Tompoq-ompoq di pinggir laut selatan. Ditempat itu mereka melatih para pemuda Jerowaru dalam rangka mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu di Praya diadakan beberapa kali pertemuan untuk membahas penulisan Babat Perang Praya. Dalam pertemuan itu Guru Alim meminta agar perjuangan Jerowaru tidak ditulis, sebagai bukti keikhlasan dalam ikut perang sabilillah.(Wawancara dengan alm. Fu’ad Tembeloq 1995) Peranan Jerowaru kemudian tidak banyak terekam dalam babat tersebut. Guru Alim sendiri tercatat dengan nama Guru Kalimah dari Jerowaru.(ket. Am. Sitirah)

Insiden Tompoq-ompoq dan Penangkapan oleh Belanda.

Dari hari kehari Makam Tompoq-ompoq menjadi semakin ramai. Para Pemuda dari berbagai kampung sekitar Jerowaru berdatangan untuk ditempa dengan berbagai ilmu. Salah satunya adalah ilmu yang diajarkan Tuan Sayid Abdullah Al-Kadri yang belakangan dikenal dengan Ilmu Tuan Sayyid atau Ilmu Raja Besi. Konon saat itu pemuda yang ditempa dengan ilmu tersebut sebanyak 40 orang. Menurut riwayat, tanda bahwa ilmu tersebut telah sempurna adalah dengan terlihatnya cahaya oleh si penuntut. Pada suatu kesempatan, seorang pemuda menyatakan telah dapat melihat kilasan sinar dimaksud yang ternyata sebenarnya adalah pantulan sinar bulan karena saat itu malam purnama. Dia meminta temannya agar dites ketangguhannya dengan senjata tajam. Akibatnya sudah dapat dipastikan. Setelah ditebas, pemuda tersebut terluka parah dan akhirnya tewas.
Berita tentang kematian peserta padepokan Tompoq-ompoq sampai kepada Kepala Desa Jerowaru yang telah lama mengamati perkembangannya secara diam-diam. Peristiwa itu kemudian dilaporkan kepada pihak Belanda. Menurut laporan Kepala Desa Jerowaru, Guru Alim, Said Alkadri, Mamiq Ormat, dan Guru Alkalimin, adalah tokoh-tokoh yang paling berpengaruh di Jerowaru saat itu. Mereka telah mengadakan padepokan dan mempersiapkan perang baru untuk melawan kekuasaan Belanda. Belajar dari Perang Praya dan Peranan Said Alkadri didalamnya, Belanda tidak mau ambil resiko. Bila dibiarkan, dapat dipastikan akan meletus perang Jerowaru menentang Belanda karena Said Al Kadri yang diyakini sebagai anak cucu Rasulullah, masih dianggap sebagai tokoh sakral dikalangan masyarakat sasak. Belanda akhirnya menangkap Guru Alim, Guru Alkalimin, dan Mamiq Ormat. Sedangkan Said Alkadri berhasil meloloskan diri ke Sumbawa dengan menyamar sebagai penjual rotan.(wawancara dengan TGH Muhtar Said). Ketiganya kemudian diasingkan ke Batavia sekitar akhir tahun 1896, dan selanjutnya dikirim ke Aceh.

Sebelas Tahun di Pembuangan.

Pada saat ketiganya diasingkan perlawanan rakyat Aceh menentang penjajahan Belanda semakin bergolak. Ini ditandai dengan berbaliknya Teuku Umar menyerang Belanda pada tahun 1896. Pemerintah Belanda menerapkan strategi baru dalam menumpas perlawanan rakyat Aceh sampai ke akar akarnya. Pemerintah Kompeni Belanda mengambil kebijakan mempergunakan para tawanan yang dianggap mumpuni untuk menghadapi perlawanan rakyat Aceh yang terkenal militan. Guru Alim, Guru Kalimin dan Mamiq Ormat kemudian dikirim ke Aceh bersama para tawanan lainnya. Di Aceh, mereka dihadapkan dengan pasukan Aceh yang diketahui sesama Muslim. Berdasarkan kesepakatan, ketiganya membatasi diri hanya ikut ke garis depan, dan tidak ikut melakukan penyerangan, tapi hanya menghindar. Berbagai upaya mereka lakukan untuk menghindari kontak langsung dengan pasukan Aceh. Guru Alim sendiri, karena usianya yang paling tua diantara ketiganya, lebih banyak menyamar menjdi tukang pijit pasukan Belanda. Sedangkan Mamiq Ormat, karena usianya paling muda, lebih banyak dipengaruhi oleh darah mudanya. Konon setelah mengetahui bahwa lawannya adalah sesama Muslim, Mamiq ormat ikut bersama pejuang Aceh berbalik menyerang pasukan Belanda. Beliau akhirnya tewas tertembak pasukan Belanda dan dikuburkan di Aceh. Beliau dikenang dengan sebutan Pemban Ilang Aceh. Sepeninggal Mamiq Ormat, Guru Alim dan Guru Kalimah mengikrarkan diri sebagai saudara dunia-akhirat serta menyatakan kesediaannya untuk hidup mati bersama-sama.
Setelah menghabiskan tujuh tahun (1896-1903) di belantara Aceh bersama Pasukan Belanda, Guru Alim bersama Guru Alkalimin dipindahkan mengikuti pasukan Belanda ke Madura, di lokasi kerja paksa pembuatan tambak garam selama 4 tahun (1903 – 1907) Baru pada tahun 1907 keduanya dikembalikan ke Batavia dan pada tahun yang sama dipulangkan ke Lombok setelah Guru Alim berhasil membunuh lipan raksasa disebuah gua di pegunungan Jawa Barat.
Selama sebelas tahun Guru Alim dan Guru Kalimin dalam pengasingan, di wilayah Jerowaru terjadi berbagai perubahan. Wilayah desa Jerowaru semakin menyempit, Perbatasan dengan distrik Sakra di sebelah utara yang semula sampai perbatasan Montong Galeng dan Montong Tengari bergeser ke selatan hanya sampai Mendana. Hal tersebut disebabkan karena Kepala Desa Jerowaru menjual sebagian wilayah tersebut kepada distrik Sakra. Selain itu tanah pusaka Guru Alim yang membentang dari Jerowaru sampai Rereq diambil alih dan dikuasai oleh Kepala Desa Jerowaru, hal mana tak dapat dilakukan semasih Guru Alim berada di Jerowaru.
Selama keduanya dalam pengasingan, pihak keluarga telah beranggapan bahwa keduanya sudah tewas karena selama itu tak pernah ada kabar berita. Sementara itu Penendem sendiri telah berubah drastis. Kehadiran TGH. Ali Akbar telah menjadikan Penendem sebagai pusat ilmu di wilayah Jerowaru dan sekitarnya. Masyarakat dari berbagai penjuru Lombok seperti Praya, Darmaji, Langko, dan wilayah sekitar Jerowaru datang berguru kepada beliau.
Berdasarkan pengalaman semasih diasingkan di Madura, Guru Alim dan Guru Alkalimin memprakarsai pembuatan tambak garam pertama di pantai selatan. Pembuatan tambak Garam tersebut mendapat dukungan penuh dari TGH. Ali Akbar. Ketiganya tercatat sebagai pemilik pertama tambak garam yang sampai sekarang terkenal dengan nama Parak Penendem. Pada Klasir tahun 1942, Amaq Sitirah sebagai ahli waris Guru Alim menyerahkan sepenuhnya kepemilikan tambak tersebut kepada TGH. Mutawalli selaku ahli waris Guru Alkalimin.





Insert :
Migrasi Keluarga Lombok Barat ke Penendem.
Pembakaran tembeloq dan pertahanan di Bengkel.
Penjelasan tentang pandangan Gr Alim thdp Ilmu Kanuragan.
Tercatat hanya satu korban perang.

5 komentar:

akudanlombok mengatakan...

wah..ini dia tulisan sejarah lombok yang saya idam-idamkan, selama ini sejarah lombok penulisanya selalu di dominasi dari sudut pandang orang bali, sehingga kadang saya merasa tidak menjadi orang sasak ketika membaca sejarah tsb.bos..referensinya dapat dari mana? kalau dari buku, bagi-bagi dong bukunya, soalnya buku tentang sejarah lombok yang dari sudut pandang orang lombok sangat jarang saya temui,pernah se mendengar beberapa buku tentang sejarah lombok, tetapi sampe sekarang belum dapet-dapet.sukses bos..!!

Unknown mengatakan...

Lamaaaa Banget saya nyari yang gini, thank's Meton

ARI BZ mengatakan...

'Dengan Lauq" saq jari julu, 'Dengan Praye' saq ngaku jari Datu.
Itulah yang saya dengar kisah yang diceritakan turun temurun oleh Arwah Niniq-niniq 'Gantoq Penujak' kepada cucu-cucunya agar mereka tidak merasa lebih rendah terhadap 'Menak Praye' saq agung-agungan diri'n.

Kanak Sasak mengatakan...

Setelah baca tulisan anda, saya sangat terharu membayangkan bagaimana perjuangan papuq baloq kita melawan penjajahan baik dari kerajaan Bali dan belanda.
Izin untuk posting kembali di blog saya tentunya dengan mencantumkan sumbernya. terima kasih.

Unknown mengatakan...

Lagi blajar silsilah lombok sasak, mkasih, izin share semeton